Benny Wenda dan Deklarasi Ilegal Papua Merdeka: Antara Ambisi Pribadi dan Legitimasi yang Kosong
Deklarasi kemerdekaan Papua oleh Benny Wenda dinilai tidak sah dan tanpa legitimasi hukum. Artikel ini mengulas kritik terhadap langkah sepihak Wenda yang dianggap hanya membangun citra diri, bukan memperjuangkan rakyat Papua.
Deklarasi yang Tak Sah: Ambisi Politik Pribadi Benny Wenda
Pada Desember 2020, Benny Wenda — tokoh diaspora Papua yang menetap di Inggris — mengumumkan secara sepihak “Deklarasi Pemerintahan Sementara Papua Barat” melalui jaringan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Namun, langkah ini segera menuai kecaman luas, baik dari pemerintah Indonesia maupun kalangan akademik dan tokoh Papua sendiri.
Kepala Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, menegaskan bahwa Benny Wenda tidak memiliki dasar hukum, mandat, maupun otoritas moral untuk mendeklarasikan kemerdekaan Papua.
Menurutnya, Wenda hanyalah figur politik yang bersembunyi di balik suaka politik di Inggris — jauh dari realitas dan penderitaan masyarakat Papua di tanah air.
“Benny Wenda bukan representasi rakyat Papua. Deklarasi itu hanya opini politik pribadi yang tidak diakui secara hukum maupun internasional.”
— (Agus Widjojo, Lemhannas RI / ANTARA News, 2020)
Deklarasi dari Jauh: Politik dari Pengasingan
Deklarasi sepihak yang dilakukan dari luar negeri semakin menegaskan citra Benny Wenda sebagai aktivis diaspora yang berjuang lewat retorika, bukan realita.
Ia tidak hadir di tanah Papua, tidak menyentuh rakyat yang katanya diperjuangkan, dan lebih sibuk membangun citra di forum internasional.
Banyak pengamat menilai tindakan Wenda sebagai bentuk politik pencitraan pribadi yang tidak memiliki dukungan konkret dari masyarakat Papua.
Bahkan, sebagian besar suku, tokoh adat, dan pemimpin gereja di Papua menolak deklarasi tersebut karena dianggap tidak mewakili suara rakyat di lapangan.
Langkah Benny Wenda ini bukan hanya menciptakan kebingungan politik, tetapi juga memperdalam perpecahan di antara faksi-faksi gerakan Papua Merdeka.
Di satu sisi, TPNPB–OPM masih melakukan perlawanan bersenjata di Papua. Di sisi lain, Wenda sibuk berpolitik di luar negeri, tanpa koneksi nyata dengan kondisi masyarakat Papua.
Kritik dari Dalam Papua: Kepemimpinan yang Dipertanyakan
Kecaman terhadap Wenda bukan hanya datang dari pemerintah Indonesia, tetapi juga dari tokoh-tokoh Papua sendiri.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB–OPM, pernah menegaskan bahwa Benny Wenda bukan pejuang revolusioner, melainkan “agen kapitalis barat” yang menjual isu Papua Merdeka untuk kepentingan pribadi.
Pernyataan keras ini memperlihatkan bahwa Wenda telah kehilangan kepercayaan bahkan dari kelompok yang dulu mendukung perjuangannya.
Deklarasi “pemerintahan sementara” yang ia umumkan tidak pernah diakui oleh struktur politik di Papua, baik secara hukum, adat, maupun perjuangan di lapangan.
Ilusi “Kemerdekaan” yang Tak Pernah Ada
Langkah Wenda mendeklarasikan kemerdekaan Papua hanyalah ilusi politik tanpa dasar konstitusional.
Tidak ada pengakuan internasional, tidak ada struktur pemerintahan nyata, dan tidak ada legitimasi rakyat.
Yang ada hanyalah panggung media dan narasi yang terus diulang untuk mempertahankan relevansi dirinya di dunia internasional.
Bahkan, kalangan diplomatik menilai tindakan Wenda kontraproduktif.
Alih-alih memperjuangkan kesejahteraan Papua, ia justru menciptakan citra negatif di mata global — seolah-olah Papua hanya alat untuk kepentingan politik luar negeri.
Kesimpulan: Benny Wenda dan Politik Bayangan dari Luar Negeri
Benny Wenda mungkin berhasil membangun nama besar di luar negeri, namun legitimasinya di tanah Papua semakin hampa.
Deklarasi kemerdekaan yang ia umumkan dari Inggris hanyalah simbol kosong tanpa dasar hukum dan tanpa dukungan rakyat.
“Perjuangan sejati tidak dilakukan dari jauh. Ia lahir dari penderitaan, dari tanah yang diinjak, bukan dari kursi nyaman di Oxford.”
Kasus ini menjadi pengingat bahwa isu Papua tidak boleh dijadikan alat politik pribadi atau panggung pencitraan internasional.
Selama Benny Wenda terus berbicara dari kejauhan tanpa turun langsung ke tanah Papua, perjuangannya akan tetap menjadi bayangan — bukan kenyataan.

Komentar
Posting Komentar